Jumat, 22 Juli 2016

Kelas Unggul-an

Long Time no post my story...











Kelas Unggul Pendidikan Dasar

Jangan tipu diri kita sendiri, sebab kita pasti sering mendengar bahkan menjumpai langsung praktek suatu lembaga pendidikan dasar yang menerapkan pembagian kelas unggul di sekolah reguler “favorit”.  Bisa dibayangkan Istilah kelas unggulan muncul ketika masih di pendidikan dasar di sekolah reguler, di mana di sekolah tersebut kelas dibagi secara alfabet, A khusus buat yang anak didik dengan“nilai” 9, B khusus buat anak didik dengan“nilai” 7,  C khusus buat anak didik dengan “nilai” 6 dan seterusnya.   Uniknya ketika disupervisi oleh pihak berwenang dalam rangka akreditasi dan sejenisnya, kelas unggulan ini disimpan rapi oleh pihak sekolah dan pengelolanya dengan keterangan “tidak menerapkan kelas unggulan” namun prakteknya ada dan di gadang gadang dibanggakan oleh ‘kaum’ orang tua / komite yang konservatif (jujur, maaf atas istilah ini).

Praktek penerapan tersebut tidaklah salah, demi menjaga kredibilitas dan favorit status dari lembaga pendidikan tersebut, akan tetapi yang jadi permasalahan serius adalah ketika hal tersebut dipraktekkan dan diterapkan pada masa-masa pendidikan DASAR, di mana dalam sistem pendidikan dikenal dengan pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun yaitu Sekolah Dasar 6 tahun dilanjutkan 3 tahun di sekolah lanjutan tingkat pertama.  Permasalahan serius tersebut di atas adalah ketika masa pembentukan karakter di pendidikan dasar terjadi ‘pengabaian’ hak dan keistimewaan setiap anak secara personal.   Pengabaian tersebut justru dapat berimplikasi fatal bagi psikologis sang anak (maaf, saya kurang mengetahui apa istilah psikologisnya) ketika sang anak secara perlahan mengetahui (bukan hal yang tabu) bahwa   dia masuk dalam kelas yang bukan unggulan atau bahkan pindah kelas dari kelas A ke kelas C dan atau seterusnya karena pencapaian ketuntasan belajarnya tidak sesuai indikator di kelas unggulan.   Salah satu implikasi kritis bagi anak didik demikan terlanjur menyandang status anak didik bukan kelas unggulan adalah seperti suatu perangko/ label stiker ‘merek’ yang terus menempel dalam pribadi anak didik yang dibawa kemana-mana bahkan lambat laun menjelma menjadi sosok pribadi ‘karakter bukan unggulan’ selama 3, 6 bahkan 9 tahun. Dalam hal ini bukan karakter dengan daya juang dan keistimewaan terasah bersinar yang dihasilkan oleh lembaga penyelenggara pendidikan dasar, justru sebaliknya.   Sistem yang diciptakan dan dijaga secara “rahasia yang bukan rahasia” justru mencetak “generasi bom waktu” baik bagi pribadi anak didik, keluarga bahkan lingkungan secara luas yang kita kenal dengan sebutan masyarakat, rakyat dan bangsa. 
 
Secara prinsip saya “menentang” dan tidak setuju dengan pengklasifikasian kelas unggul dan non unggul dalam sistem pendidikan dasar (dalam hal ini maksud saya bukan sekolah unggul), Walaupun di sekolah pembentukan karakter melalui pelajaran reguler DeCaLisTung (Dengar, Baca, Tulis, Hitung)  hanya 35% sisanya keuarga dan lingkungan sekitar.  Dalam sistem pendidikan dasar saya lebih setuju sistem gelar/status kelas unggulan di hapuskan, karena dengan demikian ada penyetaraan hak dan pengakuan keistimewaan sesuai dengan pribadi, minat kuat juga potensi sang anak didik.  Adalah tantangan dan kreatif insting bagi guru dan orang tua untuk mengenali hasrat minat dan potensi istimewa dari sang anak, apakah masuk kategori potensi kinestetik motorik, akademis, artistisk, linguistik, sosialistik,  varian lainnya atau gabungan di antaranya selama sang anak didik menjalani pendidikan dasar (karena setiap pribadi personal anak adalah istimewa/spesial dan unggul).