Kelas Unggul Pendidikan Dasar
Jangan tipu diri kita sendiri, sebab kita pasti sering
mendengar bahkan menjumpai langsung praktek suatu lembaga pendidikan dasar yang
menerapkan pembagian kelas unggul di sekolah reguler “favorit”. Bisa dibayangkan Istilah kelas unggulan
muncul ketika masih di pendidikan dasar di sekolah reguler, di mana di sekolah
tersebut kelas dibagi secara alfabet, A khusus buat yang anak didik
dengan“nilai” 9, B khusus buat anak didik dengan“nilai” 7, C khusus buat anak didik dengan “nilai” 6 dan
seterusnya. Uniknya ketika disupervisi
oleh pihak berwenang dalam rangka akreditasi dan sejenisnya, kelas unggulan ini
disimpan rapi oleh pihak sekolah dan pengelolanya dengan keterangan “tidak
menerapkan kelas unggulan” namun prakteknya ada dan di gadang gadang dibanggakan
oleh ‘kaum’ orang tua / komite yang konservatif (jujur, maaf atas istilah ini).
Praktek penerapan tersebut tidaklah salah, demi menjaga
kredibilitas dan favorit status dari lembaga pendidikan tersebut, akan tetapi
yang jadi permasalahan serius adalah ketika hal tersebut dipraktekkan dan
diterapkan pada masa-masa pendidikan DASAR, di mana dalam sistem pendidikan
dikenal dengan pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun yaitu Sekolah Dasar 6 tahun
dilanjutkan 3 tahun di sekolah lanjutan tingkat pertama. Permasalahan serius tersebut di atas adalah
ketika masa pembentukan karakter di pendidikan dasar terjadi ‘pengabaian’ hak
dan keistimewaan setiap anak secara personal.
Pengabaian tersebut justru dapat berimplikasi fatal bagi psikologis sang
anak (maaf, saya kurang mengetahui apa istilah psikologisnya) ketika sang anak secara
perlahan mengetahui (bukan hal yang tabu) bahwa dia masuk dalam kelas yang bukan unggulan
atau bahkan pindah kelas dari kelas A ke kelas C dan atau seterusnya karena
pencapaian ketuntasan belajarnya tidak sesuai indikator di kelas unggulan. Salah satu implikasi kritis bagi anak didik
demikan terlanjur menyandang status anak didik bukan kelas unggulan adalah
seperti suatu perangko/ label stiker ‘merek’ yang terus menempel dalam pribadi
anak didik yang dibawa kemana-mana bahkan lambat laun menjelma menjadi sosok pribadi
‘karakter bukan unggulan’ selama 3, 6 bahkan 9 tahun. Dalam hal ini bukan
karakter dengan daya juang dan keistimewaan terasah bersinar yang dihasilkan
oleh lembaga penyelenggara pendidikan dasar, justru sebaliknya. Sistem yang diciptakan dan dijaga secara
“rahasia yang bukan rahasia” justru mencetak “generasi bom waktu” baik bagi
pribadi anak didik, keluarga bahkan lingkungan secara luas yang kita kenal
dengan sebutan masyarakat, rakyat dan bangsa.
Secara prinsip saya “menentang” dan tidak setuju dengan pengklasifikasian kelas unggul dan non unggul dalam sistem pendidikan dasar (dalam hal ini maksud saya bukan sekolah unggul), Walaupun di sekolah pembentukan karakter melalui pelajaran reguler DeCaLisTung (Dengar, Baca, Tulis, Hitung) hanya 35% sisanya keuarga dan lingkungan sekitar. Dalam sistem pendidikan dasar saya lebih setuju sistem gelar/status kelas unggulan di hapuskan, karena dengan demikian ada penyetaraan hak dan pengakuan keistimewaan sesuai dengan pribadi, minat kuat juga potensi sang anak didik. Adalah tantangan dan kreatif insting bagi guru dan orang tua untuk mengenali hasrat minat dan potensi istimewa dari sang anak, apakah masuk kategori potensi kinestetik motorik, akademis, artistisk, linguistik, sosialistik, varian lainnya atau gabungan di antaranya selama sang anak didik menjalani pendidikan dasar (karena setiap pribadi personal anak adalah istimewa/spesial dan unggul).